Kekafiran
adalah perbuatan yang sangat dikutuk oleh Allah, sehingga semua orang Islam
sangat membenci kekafiran itu. Kalau perbuatan saling mengafirkan terus
dilestarikan, maka tidak akan pernah tercipta perdamaian di kalangan kaum
Muslimin, yang pada gilirannya akan memperlemah kekuatan Islam sendiri.
Oleh: Mulyono | Sekretaris PB GAI
Seseorang disebut Muslim kalau ia penganut agama
Islam. Kata Islam berasal dari salm atau silm, yang kedua-duanya berarti damai. Jadi kata
Islam artinya masuk dalam perdamaian. Dengan demikian seorang Muslim adalah
orang yang telah memasuki perdamaian. Jika kata salm digubah menjadi aslama, misalnya seperti digunakan
dalam Q.s. 2 : 112, maka berarti orang yang berserah diri sepenuhnya kepada
Allah. Oleh karena itu seorang Muslim adalah seseorang yang damai dengan Allah
dan damai dengan orang lain. Damai dengan Allah berarti berserah diri
sepenuhnya kepada kehendak Allah, sedangkan damai dengan sesama, bukan saja
dalam arti menjauhi berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada orang lain,
melainkan juga berbuat baik atau demi kebaikan orang lain. Dalam Q.s. 2 : 112
Allah Swt. menyatakan:
“Ya, barangsiapa berserah diri sepenuhnya kepada
Allah (aslama) dan berbuat baik kepada orang lain, ia memperoleh pahala dari
Rabb mereka, dan tiada ketakutan akan menimpa mereka dan mereka tak akan
susah.”
Kendati secara syar’i keislaman didasarkan pada
lima hal, yakni : mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat,
membayar zakat, berpuasa setiap bulan Ramadhan dan naik haji ke Makkah, tetapi
dalam praktik pengakuan kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang pantas
disembah dan Muhammad sebagai Utusan-Nya (yang terformulasi dalam Dua Kalimat
Syahadat: Asyhadu allaa ilaaha illa-llooh wa asyhadu anna
Muhammada-rrosuulu-llooh), dianggap sebagai garis pemisah antara Muslim dan
non-Muslim, bahkan meskipun pengakuan itu tidak lebih dari ucapan kosong. Dalam
kenyataan di masyarakat hingga saat ini masih banyak yang bahkan mengucapkan
dua kalimat syahadat pun tidak fasih, atau hanya mengucapkan kalimat syahadat
pada waktu nikah, tetapi tetap diakui sebagai seorang Muslim, karena di KTP-nya
tertulis beragama Islam.
Orang
Islam tidak boleh disebut kafir
Kafir atau kufur berarti mengingkari atau
menolak kebenaran. Dalam terminologi Islam, orang non-Islam disebut kafir,
karena ia mengingkari atau menolak kebenaran Islam.
Dalam kitab Nihayah, Ibnu Atsir menerangkan
bahwa kafir atau kufur ada dua macam, pertama, mendustakan iman, dan ini adalah
lawannya kata iman, dan kedua, mendustakan sebuah far’ (cabang) dari
furu’il-Islam (cabang-cabang Islam). Jadi menurut keterangan ini, meskipun
seseorang (Muslim) telah berbuat kufur (dalam arti tidak mengerjakan suatu
peraturan dalam Islam, misalnya tidak shalat, tidak puasa, dll.), tidak boleh
disebut kafir atau non-Islam sepanjang ia tidak melepaskan syahadatnya secara
terang-terangan.
Sejumlah Hadits Nabi Muhammad saw. memberi
petunjuk bahwa ke Islaman seseorang tidak harus dibuktikan terlebih dulu dengan
perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip keimanan dalam Islam,
melainkan dengan sekedar ucapan lisan dua kalimah syahadat pun sudah cukup
untuk diakui sebagai seorang Muslim. Dalam hal ini, Qur’an Suci sendiri bahkan
menyatakan bahwa orang yang mengucapkan salam (secara Islam) kepada orang Islam
tidak boleh diakatan sebagai bukan mukmin: “Lasta mukmina” (Q.s. 4 : 94). Ayat
ini juga mengisyaratkan bahwa orang Islam tidak boleh gegabah menyebut orang
lain sebagai bukan mukmin atau kafir, sebelum dilakukan penyelidikan terlebih
dulu.
Nabi Suci Muhammad saw. bersabda : “Tiga hal
yang menjadi landasan iman ialah : (1) menjauhkan sesuatu dari orang yang
mengucapkan kalimat laa ilaaha illa-llooh, janganlah kamu menyebut dia kafir
karena suatu perbuatan dosa, atau mengeluarkan dia dari Islam karena melakukan
perbuatan ….” (Abu Daud). Sabda beliau yang lain: “Barangsiapa menyebut kafir
kepada ahli laa ilaaha illa-llooh, maka ia sendiri lebih dekat kepada kufur.”
Jika orang yang sekedar mengucapkan kalimat
syahadat saja tidak boleh disebut kafir, lebih-lebih kepada orang yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip keimanan
dalam Islam, misalnya shalat, zakat, puasa, haji, dll. Dalam hal ini Nabi saw.
bersabda :”Barangsiapa menjalankan shalat seperti kita dan menghadap kiblat
kita dan makan daging binatang yang kita sembelih, ia adalah orang Islam yang
menikmati perjanjian Allah dan Rasulnya; maka janganlah kamu melanggar
perjanjian itu.” (Bukhari). Kebanyakan ulama dan ahli fiqih pun sepakat bahwa
kaum ahli kiblat (orang yang mengakui Ka’bah di Makkah sebagai kiblat
shalatnya) tidak boleh disebut kafir. Abu Hasan Al-Asy’ari, misalnya. Dalam
buku Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilafatul Mushallin, menyatakan: “Setelah Nabi
Suci meninggal, timbullah perpecahan di kalangan kaum Muslimin tentang banyak
hal; sebagian mereka menyebut sebagian yang lain dlall (menyimpang dari jalan
benar), dan sebagian lagi menjauhkan diri dari sebagian yang lain, sehingga
mereka menjadi golongan (firqah) yang terpisah satu sama lain, dan menjadi
golongan yang berserakan, namun demikian Islam menghimpun mereka dan melingkupi
mereka dalam suasana Islam.” Imam Thahawi juga berkata : “Tiada hal yang dapat
mengeluarkan seseorang dari iman, kecuali mengingkari apa yang membuat dia
masuk dalam (iman) itu.” Bahkan Imam Ahmad bin Mustafa mengecam orang yang
menyebut kafir kepada orang Islam lainnya, dengan mengatakan : “Hanya orang
sinting sajalah orang yang menyebut orang lain: kafir, karena para imam yang
dapat dipercaya dari madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hambali dan Asy’ari,
semuanya berpendapat bahwa kaum ahli kiblat tak dapat disebut kafir.”
Bahayanya
takfirul Muslimin
Menyebut kafir kepada sesama orang Islam adalah
perbuatan keji yang akibatnya sangat mengerikan, karena perbuatan seperti ini
akan menghancurkan persaudaraan Islam. Dalam Q.s. 49:10 Allah menyatakan bahwa
semua kaum Mukmin adalah Saudara dan hendaklah semua orang Islam berdamai.
Kekafiran adalah perbuatan yang sangat dikutuk oleh Allah, sehingga semua orang
Islam sangat membenci kekafiran itu. Kalau perbuatan saling mengafirkan terus
dilestarikan, maka tidak akan pernah tercipta perdamaian di kalangan kaum
Muslimin, yang pada gilirannya akan memperlemah kekuatan Islam sendiri.
Perbedaan pendapat atau paham keagamaan dalam
islam, pada umumnya hanya menyangkut masalah-masalah furu’iyyah (cabang atau
detail) bukan masalah pokok asasi agama (ushulu-ddiinn). Dan hal seperti ini
sudah terjadi sejak zaman dulu. Oleh karena itu tidak perlu dibesar-besarkan,
karena betapa pun banyaknya perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam,
dapat dipastikan, persamaannya masih jauh lebih banyak. Justru dengan adanya
perbedaan itu akan mendorong orang untuk terus-menerus berpikir dan berusaha.
Jadi, perbedaan pendapat justru menjadi sumber kemajuan. Itulah makanya,
Rasulullah Muhammad saw. mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umat
beliau merupakan sumber rahmat. Lawan pendapat, kawan berpikir.
Gerakan
Ahmadiyah (Ahmadiyah Lahore) adalah golongan di dalam Islam
Jika keislaman seseorang didasarkan pada lima
hal,. yakni : mengucapkan dua kalimat syahadat, menegakkan shalat, membayar
zakat, berpuasa wajib di bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji ke Makkah,
maka Gerakan Ahmadiyah (Ahmadiyah Lahore) pun tidak kurang dan juga tidak lebih
dari itu. Kalimat syahadat yang diucapkan dan diyakini dalam hati oleh kaum
Ahmadi tidak berbeda dengan umat Islam pada umumnya, yakni : asyhadu allaa
illaaha illa-llooh wa asyhadi anna Muhammada-rrosuulullooh (Aku berdiri saksi
bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah dan aku
berdiri saksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Utusan Allah). Demikian juga
dalam hal tata cara dan waktu-waktu shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat
dan ibadah haji.
Jika kaum Muslimin umumnya merumuskan aqidahnya
dalam Rukun Iman yang enam, maka kaum Ahmadi pun demikian, yakni: beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab suci-Nya, utusan-utusan-Nya, adanya
Hari Akhir, dan beriman kepada qadla dan qadar Allah. Pendek kata, baik secara
aqidah maupun syari’ah, Gerakan Ahmadiyah (Ahmadiyah Lahore) tidak ada
perbedaan sedikit pun dengan kaum Muslimin pada umumnya. Kalaupun ada
perbedaan, pasti hanya masalah-masalah furu’iyyah atau detailnya agama. Sebagai
misal, kaum Ahmadi meyakini bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid
(reformer) yang juga bergelar Masih dan Mahdi. Keyakinan ini bukan bagian dari
Rukun Iman, dan oleh karena itu bersifat mana-suka. Sama dengan, misalnya
seseorang atau sekelompok orang meyakini Syeh Abdul Qadir Jailani sebagai
washilah antara dia dan Rasulullah saw. atau bahkan ada juga sekelompok orang
Islam yang meyakini seseorang sebagai perantara antara mereka dan Allah.
(wallahu a’lam bi-sh shawab).
Play for fun at the Merit Casino – Slots, Live Games and more
BalasHapusMerit Casino is one of the leading online casinos in the world founded in 2015. With over 200+ 메리트카지노 쿠폰 games to choose from, you are sure to find something new.