Oleh
: Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Penterjemah:
A.Q. Khalid
Yang
dikemukakan di bawah ini adalah kompilasi ekstraksi yang diambil dari Malfuzat.
Malfuzat adalah judul dari sepuluh jilid buku yang berisi kumpulan diskursus,
khutbah dan nasihat Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. dari Qadian, Masih Maud
dan Imam Mahdi.
Ingatlah
selalu bahwa bila seseorang menyatakan kalau ia beriman pada Tuhan yang Maha
Esa, yang tanpa sekutu, serta beriman kepada Rasulullah Muhammad saw. serta
meyakini segala hal lain berkaitan dengan agama, tetapi realitasnya pernyataan
itu hanya merupakan ucapan di bibir semata dan hatinya tidak mengakuinya, maka
pernyataan demikian tidak akan membawa keselamatan baginya.
Keselamatan
tidak akan diperoleh sampai suatu saat hati telah mengimani dan hal demikian
menjadi nyata jika perilaku dan amal perbuatan yang bersangkutan
membuktikannya. Sampai keadaan demikian tercapai, tidak ada sesuatu yang telah
dicapai. Sesungguhnya aku nyatakan dengan sebenarnya bahwa tujuan hakiki baru
akan bisa tercapai jika seseorang yang berpaling kepada Tuhan telah
meninggalkan segala yang akan menjadi gangguan, ketika agama sudah diberikan
prioritas utama di atas segala aktualitas duniawi.
Ingatlah!
Seseorang bisa saja menipu mahluk lainnya. Orang bisa terkecoh pandangannya
melihat seseorang melakukan shalat lima kali sehari atau melakukan beberapa
amal baik lainnya, namun Tuhan tidak bisa ditipu. Karena itu amal saleh harus
dilakukan dengan ketulusan yang murni karena hal inilah yang menambah keindahan
dari amal tersebut.
Patut
selalu diingat mengenai makna dari Kalimah Shahadat yang kita ucapkan setiap
hari. Dengan Kalimah itu seseorang mengikrarkan secara lisan dan bersaksi
dengan hatinya bahwa baginya sang Maha Esa yang patut disembah dan dikasihi
adalah Wujud Tunggal yang menjadi tujuan hakiki adalah Allah swt dan tak ada
sesuatu apa pun selain Dia. Arti kata Ilaha dalam Kalimah tersebut mengandung
makna ‘yang terkasih’, ‘wujud yang menjadi tujuan hakiki’ dan ‘wujud yang
disembah dan dihormati.’ Pernyataan itu merupakan inti keseluruhan ajaran
Al-Quran dalam bentuk paling padat yang diajarkan kepada umat Muslim. Karena
tidak mudah menghafal kitab yang demikian tebal dan rinci, Kalimah ini
diajarkan agar setiap orang tetap bisa memelihara esensi ajaran Islam secara
konstan dalam fikirannya. Sesungguhnya sebelum semua realitas itu berakar dalam
kalbu manusia, maka tidak ada keselamatan baginya. Karena itulah Hazrat
Rasulullah saw. menyatakan: ‘Barangsiapa yang mengikrarkan bahwa tidak ada
tuhan selain Allah, ia akan masuk surga.’ Dengan kata lain, seseorang yang
sepenuhnya mengimani ‘la ilaha illallah’ maka ia akan masuk ke dalam surga.
Sebenarnya
manusia menipu dirinya sendiri jika mengira bahwa mengulang-ulang suatu kata
seperti burung beo, akan memberi mereka kemudahan masuk surga. Jika realitas
memang demikian adanya maka semua amal akan menjadi mubazir dan sia-sia dan
Shariah bisa dianggap, naudzubillah, tidak relevan. Nyatanya tidak demikian adanya.
Yang patut diperhatikan ialah makna yang terkandung di dalamnya haruslah
meresap ke dalam hati saat pengamalannya. Jika hal ini bisa tercapai maka benar
bahwa yang bersangkutan telah masuk surga, bukan setelah kematian, tetapi
sekarang juga dalam kehidupan kini yang bersangkutan telah memasuki surga.
(Malfuzat, vol. 9, h.102 – 104)
Setelah
itu perhatikanlah bahwa yang kedua adalah Shalat, yang diwajibkan dan
berulang-kali ditegaskan oleh Al-Quran. Ingatlah juga bahwa Al-Quran menegur
mereka yang menegakkan Shalat tetapi tidak memahami makna daripadanya dan tetap
saja bersikap kejam kepada sesama manusia. Shalat dalam realitasnya adalah
permohonan kepada Allah swt agar Dia menjaga kita dari segala keburukan dan
perbuatan jahat. Manusia sesungguhnya berada dalam keadaan menyedihkan dan
kesepian dimana ia mendambakan kedamaian dan kepuasan kalbu yang merupakan
hasil bawaan dari keselamatan. Namun keselamatan demikian tidak mungkin dicapai
hanya dengan kecerdikan atau keterampilan seseorang. Sampai dengan Tuhan telah
memanggil maka tidak ada yang bisa menghadap kepada-Nya, sampai dengan Dia
mensucikan maka tidak ada orang yang disucikan.
Banyak
yang menjadi saksi atas realita bahwa seringkali manusia menginginkan dirinya
bersih dari segala dosa, namun tidak juga berhasil meski telah berulangkali
berupaya melakukannya. Meski kesadaran dirinya, Nafsi Lawwama, yaitu semangat
yang menegur dirinya sendiri telah mengingatkan, tetapi tetap saja ia gagal dan
tergelincir kembali. Dari sini bisa disimpulkan bahwa pensucian seseorang dari
segala dosa adalah kinerja Tuhan adanya. Manusia tidak mungkin mencapai hal itu
hanya atas dasar upayanya sendiri. Namun memang harus diakui bahwa upaya ke
arah tersebut merupakan hal yang mutlak harus dikerjakan.
Shalat
adalah untuk membasuh batin yang penuh dengan dosa serta telah melenceng jauh
dari Tuhan. Adalah untuk mendekatkan ruh kepada Tuhan maka ada sarana yang
bernama Shalat, melalui apa kejahatan bisa dipupus dan kalbu diisi dengan
perasaan dan emosi yang suci. Inilah yang mendasari pernyataan bahwa Shalat
memupus segala keburukan atau mencegah seseorang melakukan suatu yang tidak
pantas atau tidak berakhlak.
Lalu
apa yang dimaksud dengan Shalat? Itu adalah laku doa yang penuh dengan
kepedihan dan karena itu disebut Shalat. Permohonan yang diajukan kepada Tuhan
dilakukan dengan memelas dan kesedihan agar Tuhan mau mengangkat segala fikiran
buruk, perasaan jelek dan emosi negatif dari kalbu seseorang dan Dia mau
mensucikannya dari dalam dirinya dengan cara menciptakan kasih hakiki sebagai
gantinya melalui berkat dan rahmat-Nya.
Kata
Shalat menunjuk kepada kenyataan bahwa doa tidak cukup hanya dengan lisan saja,
karena haruslah kata-kata doa itu dilambari dengan perasaan gelisah dan
khawatir. Tuhan tidak akan mendengarkan doa seseorang sampai yang bersangkutan
mencapai tingkatan seperti akan mati rasanya (karena kegelisahan memohon di
hadapan Tuhan). Sesungguhnya doa itu sulit dan kebanyakan orang tidak memahami
hakikatnya. Banyak orang telah menyurati diriku mengatakan bahwa mereka telah
berdoa untuk sesuatu tetapi doa mereka tidak membawa efek apa-apa sehingga
akhirnya mereka berpandangan negatif terhadap Tuhan mereka dan mereka galau
oleh perasaan putus asa. Mereka tidak memahami bahwa doa yang tidak diikuti
persyaratan lainnya itu, sulit akan mendapat manfaatnya.
Salah
satu persyaratan doa ialah hati itu harus demikian luluh sehingga mencair dan
mengalir seperti air yang menuju ke kaki Tuhan yang Maha Agung, diikuti
perasaan pedih dan gelisah. Yang bersangkutan jangan sampai tidak sabar dan
mengharapkan hasil segera. Ia harus terus menerus berdoa dan kesabaran serta
beristiqomah. Barulah setelah itu bisa mengharapkan doanya dikabulkan.
Shalat
merupakan doa pada tingkat yang amat tinggi. Menyedihkan sekali bahwa manusia
belum memahami nilainya dan mereka menganggapnya hanya sebagai gerakan-gerakan
tegak, membungkuk dan sujud diikuti dengan bacaan rapalan seperti burung beo,
mengerti atau tidak mengerti artinya. Yang menyedihkan juga ialah umat Muslim
zaman ini tidak lagi mengenali fitrat hakiki daripada Shalat dan malah tidak
melakukannya secara teratur. Bahkan ada golongan yang malah meninggalkan Shalat
untuk diganti dengan beberapa rapalan atau pengulangan beberapa kata-kata. Dari
antara golongan itu adalah Noshahi dan Chashti serta beberapa lainnya.
Orang-orang seperti itu sebenarnya menyerang agama Islam dan ajarannya dari
dalam, setelah itu karena telah menjauh dari disiplin Islam, lalu mencoba
menciptakan Syariah baru.
Ingatlah
selalu dengan pasti bahwa kita ini tidak memerlukan adanya inovasi baru jika
kita dan semua pencari kebenaran telah diberkati dengan Shalat. Setiap kali
Hazrat Rasulullah saw. dihadapkan pada kesulitan dan musibah, beliau pasti
segera mendirikan Shalat. Pengalaman kita sendiri dan mereka yang mencari
kebenaran menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada Shalat untuk
membawa seseorang mendekat kepada Tuhan.
Ketika
seseorang berdiri dalam Shalat, ia itu mengambil sikap hormat. Jika seorang
sahaya berdiri di hadapan tuannya, tentulah ia berdiri dengan tangan
bersidekap. Posisi membungkuk juga merupakan laku hormat yang lebih tinggi
derajatnya dari berdiri tegak, sedangkan sujud menjadi bentuk penghormatan yang
paling tinggi tingkatannya. Jika seseorang sedang dalam keadaan pasrah
sepenuhnya, ia akan mengambil laku sujud. Celakalah orang-orang tolol dan
duniawi yang ingin mempersingkat Shalat serta berkeberatan untuk membungkuk
atau pun sujud. Padahal jsuteru hal-hal tersebut merupakan aspek yang terpuji.
Sampai seseorang menyadari sepenuhnya akan kawasan dari mana Shalat diturunkan
maka selama itu juga ia tidak akan memperoleh apa-apa. Namun bagaimana mereka
yang tidak beriman kepada Allah swt akan bisa meyakini manfaat Shalat?
(Malfuzat, vol. 9, h.108 – 110)
Rukun
Islam ketiga adalah Puasa. Pada umumnya manusia tidak menyadari fitrat hakiki
daripada laku puasa, samanya seperti orang yang belum pernah bepergian ke suatu
negeri maka ia tidak akan bisa menceritakan kondisinya. Yang dimaksud dengan
laku puasa bukan hanya asal lapar dan haus saja. Puasa memiliki realitas dan
efek yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman. Sudah menjadi fitrat manusia
bahwa tambah sedikit yang dimakannya maka tambah tinggi derajat pensucian
ruhani yang bisa dicapainya serta bertambah kapasitasnya untuk mendapatkan
kashaf. Apa yang dikehendaki Tuhan dalam hal ini adalah mengurangi asupan jenis
makanan yang satu dan meningkatkan asupan jenis ‘makanan’ lainnya. Seseorang
yang berpuasa harus selalu mencermati hal ini bahwa tujuan daripada berpuasa
bukanlah semata-mata melaparkan diri tetapi perlu baginya membagi waktu untuk
zikir Ilahi agar ia bisa meninggalkan kehidupan duniawi dan berpaling kepada
Tuhan. Dengan demikian makna laku puasa adalah dengan mengkaliskan satu jenis
makanan yang menghidupi tubuhnya ia akan memperoleh jenis ‘makanan’ lain yang
menghidupi dan memuaskan ruhaninya.
Orang
yang berpuasa demi Tuhan-nya dan bukan karena tradisi atau adat kebiasaan, ia
sepatutnya menyibukkan diri dengan tasbih dan takbir Ilahi disamping merenungi
dirinya sendiri agar jenis ‘makanan’ yang lain itu dikaruniakan pula kepadanya.
Begitu
juga dengan ibadah Haji yang menjadi rukun Islam keempat. Yang dimaksud dengan
ibadah Haji bukan hanya semata agar seseorang meninggalkan negerinya, berlayar
melalui lautan, melantunkan beberapa rapalan dan kemudian pulang. Realitas
daripada Haji sesungguhnya amat luhur dan menggambarkan titik tertinggi dalam
tingkat hubungan seseorang dengan Allah swt.
Masalah
ini patut dipahami bahwa ketika seseorang menjauhkan dirinya dari nafsu duniawi
maka dirinya itu berharap bisa karam sepenuhnya dalam kasih Ilahi. Gairah dari
kasih demikian akan berkembang sampai kepada suatu tingkatan dimana kesulitan
perjalanan atau pun mara bahaya atas diri dan harta miliknya atau juga keterpisahan
dari yang dikasihinya tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti baginya.
Sebagaimana seseorang yang siap mengurbankan segalanya bagi sang kekasih,
begitu juga halnya dengan orang yang mencintai Tuhan sama siap melakukannya.
Contoh simbolis dari bentuk hubungan demikian tergambar dalam laku Haji.
Sebagaimana
seseorang yang kasmaran mengitari kekasihnya, begitu juga yang dilakukan orang
saat tawaf sekeliling Ka’abah pada pelaksanaan ibadah Haji. Masalah ini pelik
dan halus sekali. Sebagaimana ada sebuah Baitullah (Rumah Tuhan) di bumi,
begitu juga yang sama ada di atas sana. Kalau kita tidak bertawaf juga pada
yang di atas itu maka tidak ada manfaatnya tawaf yang dilakukan di bumi dan
karena itu tidak ada ganjarannya. Keadaan tawaf yang dilakukan pada ‘orbit’
yang lebih tinggi itu haruslah sama seperti yang terlihat di bumi dimana orang
hanya menggunakan pakaian yang paling mendasar. Mereka yang bertawaf pada
Baitullah yang luhur juga sama harus menanggalkan ‘pakaian’ keduniawian dan
berlaku merendahkan diri dan lembut hati serta melakukan tawaf dengan hati
penuh kecintaan. Tawaf merupakan simbol dari kecintaan kepada Tuhan yang
sangat, dimana seseorang melakukan tawaf mengitari wujud keridhaan Ilahi, dan
tidak ada tujuan lain dari laku demikian.
Begitu
pula halnya dengan Zakat. Banyak orang yang membayar Zakat tetapi melakukannya
tanpa memahami apa yang mereka kerjakan. Jika seekor babi atau anjing
disembelih dengan cara Islam, tidak akan menjadikan dagingnya lalu menjadi
halal.
Arti
kata Zakat merupakan derivasi dari kata tazkia (yang artinya mensucikan).
Sucikanlah harta kalian dan bayarkan Zakat dari sana. Ia yang memberikan dari
harta yang disucikan sesungguhnya menegakkan kebenaran. Adapun ia yang tidak
membedakan antara Halal dan Haram, sesungguhnya ia jauh dari marifat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar