Kamis, 26 Januari 2017

Rabu, 25 Januari 2017

Pengertian Jemaat, jemaah, jamaah...

Kita, bangsa Indonesia, rupanya sulit bersepakat untuk hal-hal sederhana yang seharusnya bisa disepakati. Paling nyata dalam bidang bahasa. Saya sulit mengerti mengapa kata-kata serapan dari bahasa Arab--yang asalnya sama--diserap secara berbeda-beda. Maka, satu kata versinya banyak sekali. Pusat Bahasa dan ahli-ahli bahasa gamang.

Ketika aset-aset Ahmadiyah dirusak, ada teman yang bertanya: 

"Mana yang benar: JEMAAT atau JEMAAH atau JAMAAH Ahmadiyah? Kalau JEMAAT kan berbau Nasrani. Kalau JAMAAH, wong Ahmadiyah tidak diakui sebagai bagian dari Islam. Lantas, bagaimana?"

Jawaban saya sederhana saja: 

"Kita lihat papan nama. Tulisannya: JEMAAT AHMADIYAH. Yah, kita pakai saja JEMAAT biar sesuai dengan cara orang Ahmadiyah menyebut organisasinya."

Saya buta bahasa Arab, tapi berdasar beberapa penjelasan ahli bahasa, kata-kata ini akarnya sama. Tapi mengapa bisa berbeda-beda? Bahkan, ada JEMAAT yang menurut kamus khusus dipakai untuk menyebut kumpulan orang kristiani. Saya tertawa karena orang Kristiani di Indonesia hampir tidak ada yang paham bahasa Arab. Kecuali beberapa gelintir teolog macam Remy sylado atau Bambang Noorsena atau Romo Parera. 

JEMAAT
Memang selalu dipakai di lingkungan kristiani, entah Katolik atau Protestan. Ada buku KIDUNG JEMAAT. Surat-surat Paulus selalu ditujukan kepada JEMAAT. Ada JEMAAT di Roma, Korintus, Galatia, Efesus, Kolose, Tesalonika. 
Lagu-lagu liturgi Katolik selalu pakai JEMAAT. Contoh: JEMAAT ALLAH BERZIARAH. Jemaat, Allah, ziarah, pastilah serapan dari bahasa Arab juga. Teman-teman aliran Pentakosta punya denominasi SIDANG JEMAAT ALLAH sebagai terjemahan The Assembly of God.

JEMAAH 
Hampir sama dengan JEMAAT. Ada beberapa media merujuk ke komunitas muslim, tapi tidak pernah untuk kristiani. 

JAMAAH 
Teman-teman editor di koran-koran Jawa Timur merasa istilah ini paling afdal untuk merujuk komunitas islami. JAMAAH HAJI, tidak pernah JEMAAT HAJI. JAMAAH salat Jumat. JAMAAH pengajian ibu-ibu. JAMAAH nahdlatul ulama. JAMAAH Ahmadiyah tidak dipakai karena--itu tadi--dianggap sempalan Islam. 
JAMAAH Gereja Kristen Bethel juga tak pernah dipakai karena dianggap janggal oleh para editor. "Wong nasrani iku cocoke JEMAAT, bukan JAMAAH," kata seorang penyunting senior. Hehehe... Akar katanya kan sama, Bung! Tapi saya orang biasa yang tidak mampu mengubah paadigma ini.

JAMIYAH
Ini juga khas islami, biasa dipakai untuk merujuk organisasi muslim. 

Persoalan ini akarnya sederhana saja. Serapan kata-kata Arab sejenis JEMAAH/JEMAAT, MUSYAWARAH/MUSYAWARAT, AMANAH/AMANAT, MUNAJAH/MUNAJAT/ IBADAH/IBADAT, HIKMAH/HKMAT... itu 'dimatikan' dengan fonem H atau T? Menurut saya, Pusat Bahasa atau para pakar bahasa segera bikin kajian mendalam, lalu bersepakat. 

Dengan begitu, kita punya standar. Tidak ada lagi JEMAAT versi Kristen atau Ahmadiyah atau JEMAAH atau JAMAAH yang bikin bingung itu. Macam Malaysia itulah. Negara tetangga itu sudah punya pola penyerapan kata-kata Arab ke dalam bahasa Melayu yang standar. Masa sih kita sebagai sesama bangsa Indonesia harus terbedakan hanya gara-gara cara penyerapan kata-kata asing yang berbeda.

Saya sendiri merujuk pada Prof. Dr. Jos Daniel Parera, munsyi, pakar bahasa dari IKIP Jakarta, yang pernah mengkaji kata-kata serapan dari bahasa Arab ini. Yakni, memilih fonem T dan bukan H karena lebih konsisten dan sesuai dengan standar penyerapan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun di bahasa kita. 

Maka, saya sejak dulu menggunakan JEMAAT [tak peduli Islam, Kristen, Ahmadiyah, Buddha, Hindu...], MUSYAWARAT, AMANAT, HIKMAT, IBADAT, MUNAJAT... dan seterusnya.

Selasa, 24 Januari 2017

Kumpulan Buku Jemaat Ahmadiyah Langsung download saja

* Buku Pelatihan Da'i  JAI
Buku Panduan Da'i Ilallah Denny.pdf
Buku Pintar Bertabligh.pdf
Buku Paket Mubayin Baru.pdf
Masalah Kenabian.pdf
Pengertian Nabi.pdf
Peristiwa Menggugah di Medan Tabligh AKQ.pdf
Selayang Pandang 1 Ahmadiyah.pdf
Selayang Pandang Ahmadiyah.pdf
Tiga Masalaah Penting.pdf

* Buku Malfuzat
Malfuzat Jilid I.pdf
Malfuzat Jilid II.pdf
Malfuzat Jilid III.pdf
Malfuzat Jilid IV.pdf

* Buku Tentang Nabi Muhammad saw
Benarkah Ahmadiyah Tidak Meyakini Nabi Muhammad sebagai Khataman nabiyin.pdf
Berkah Nabi Muhammad Nabi Terakhir.pdf
Nabi Muhammad dan Kristus Christ.pdf
Nabi Muhammad Prophet.pdf
Nabi Muhammad Worlds Criptures1.pdf
Pesan Rasulullah SAW.pdf
Riwayat Hidup Baginda Nabi Besar Muhammad Rasulullah SAW.pdf
Riwayat Hidup Hz Ahmad as.pdf

* Buku Tentang Ibadah Shalat
Daya Kekuatan Salat, Do'a. pdf
Doa-Doa Masih Mauud.as.pdf
Doa-Doa dari Al-Quran Hadits dan Wahyu Masih Mauud.as.pdf
Dzikir Setelah Sholat Fardhu Sesuai Sunnah Nabi Muhammad SAW.pdf
Tata Cara Whudhu dan Sholat Menurut Fiqh Ahmadiyah.ppt
Tata Cara Wudhu.pdf
Zikir Ilahi.pdf

* Ayat-Ayat Pilihan 
Ayat dan Surah Pilihan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis Ketika Shalat.pdf

*Buku Tentang Kristen Yesus / Nabi Isa as
Ajaran Kristen. pdf 
Ajaran Yahudi.pdf
Buku Kristologi.pdf
Dimana Yesus Wafat.pdf
Jejak Yesus di India Holger Kersten.pdf
Nabi Isa dari Palestina ke Kashmir.pdf
Memecah Salib. pdf
Yesus di India.pdf
Yesus Wafat di Kashmir.pdf
Yesus Melihat Kesalahan.pdf

* Buku-buku Pilihan
12 Butir Pernyataan JAI. pdf
Abdus Salam TimTeng. pdf
Ahmadiyah Apa dan Mengapa. pdf
Ahmadiyah Dalam Perspektif Akidah dan Syari'ah. pdf
Ahmadiyah Menjawab Salman Rushdi.pdf
Almasih Sudah Datang.pdf
Apakah Ahmadiyah Itu ?.pdf
Benarkah Ahmadiyah Sesat. pdf
Bukan Sekedar Hitam Putih Edisi Revisi. pdf
Bukan Sekedar Hitam Putih.pdf
Buku Ajaranku. pdf
Buku Bahttrah Nuh.pdf
Buku Bai'at.pdf
Buku Filsafat Ajaran Islam. pdf
Buku Tentang Dajal. pdf
Declaration Of Initation Form Bai'at.pdf
Dialog Kenabian. pdf
Evolusi Manusia. pdf
Falsafah Islamiyah. pdf
Klasifikasi dan Katalogisasi. pdf
Keberkatan Allah yang Tak Terhingga. pdf
Mujaddid Masih Mahdi. pdf
Mubahalah dan Hakekatnya. pdf
Tazkirah Indonesia.pdf
Tatanan Dunia Baru Menurut Islam.pdf
Tiga Masalah Penting.pdf


Baru Di Upload ...!!!
Perkembangan Ahmadiyah Di Perancis, Jerman dan Inggris.pdf 


Catatan :
Bila Ada Buku yang tidak bisa di download harap pemberitahuannya yang mau rekues buku juga bisa
Jangan Sampai Terlewat Kami Akan Mengupload Buku-Buku selanjutnya

Jazakumullah atas informasinya

Kamis, 19 Januari 2017

Konsep Islamiah Jemaat Ahmadiyah



Dalam perjalanan ke Nigeria pada tahun 1988, Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV dari Jemaat Islam Ahmadiyah telah diundang oleh BTV yaitu stasiun televisi Nigeria untuk mengikuti serangkaian wawancara yang ditayangkan, dimana sejumlah pertanyaan berkaitan dengan Islam dan Ahmadiyah telah dikemukakan. Berikut ini adalah jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang dilontarkan presenter BTV dalam beberapa sesi tersebut. Penterjemah: A.Q.Khalid

Apa saja isi pengakuan dari pendiri Jemaat Ahmadiyah?

Hazrat Mirza Tahir Ahmad:
Pada esensinya, pernyataan atau pengakuan dari pendiri Jemaat ini ialah bahwa beliau telah ditunjuk Allahswt sebagai Pembaharu dari masa kini. Pada dasarnya itulah pengakuan beliau, namun hal itu mencakup berbagai aspek lainnya.

Dalam kenyataannya, zaman kini yang dalam kitab-kitab berbagai agama disebut sebagai ‘Akhir Zaman’ adalah suatu periode yang dinubuatkan oleh berbagai agama tentang akan datangnya seorang Pembaharu yang akan membawa Zaman Keemasan umat manusia dalam bentuk persatuan global.

Bangsa Hindu menganggapnya sebagai kemunculan kembali Krishna, umat Yahudi masih tetap menunggu kedatangan seorang Messiah. Yesusas sendiri menubuatkan bahwa beliau akan datang lagi, sedangkan Nabi Muhammadsaw menubuatkan bahwa di akhir zaman akan muncul seorang Pembaharu dalam dua bentuk penampilan. Yang satu akan muncul dengan sebutan Al-Mahdi sedangkan yang lainnya dengan sebutan Al-Masih atau Masih ibnu Maryam. Pertanyaan mendasar yang patut dikemukakan adalah apakah para Pembaharu yang dinubuatkan itu akan datang secara bersamaan atau hanya satu nubuatan saja yang akan terpenuhi dimana yang lainnya lalu dianggap sebagai palsu? Di sisi lain, jika semua nubuatan itu benar adanya dan setiap Pembaharu itu muncul dengan namanya sendiri-sendiri, apakah hal ini tidak akan menimbulkan konflik keagamaan berlandaskan nama Tuhan? Skenario demikian tidak saja tak mungkin dipertahankan, tetapi juga tidak masuk akal. Kecuali jika orang berpandangan seperti halnya perspektif

Jemaat Ahmadiyah yaitu hanya ada satu Pembaharu yang muncul di Akhir Zaman yang menyandang berbagai sebutan untuk mewakili semua Pembaharu yang dinubuatkan tersebut. Hanya dengan cara itulah upaya pemersatuan semua agama bisa terlaksana. Sejalan dengan pengakuan dari Al-Masih yang Dijanjikan yang adalah juga pendiri Jemaat Ahmadiyah, sosok yang menjadi Pembaharu tersebut haruslah seorang Muslim pengikut ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullahsaw. Begitu juga sang Pembaharu itu adalah satu orang yang sama yang menyandang sebutan sebagai Imam Mahdi dan juga Al-Masih. Menurut pendiri Jemaat Ahmadiyah tersebut, sosok Pembaharu ini mewakili semua Pembaharu yang telah dinubuatkan berbagai agama lainnya dan ia akan membawa reformasi kemanusiaan.

Singkat kata, penafsiran Ahmadiyah atas semua nubuatan awal tersebut ialah hanya ada satu saja sosok Pembaharu tersebut dan bukannya berbentuk berbagai Pembaharu yang muncul secara berbeda untuk setiap agama. Sosok Pembaharu yang satu ini akan mewakili semua Pembaharu yang telah dijanjikan tersebut.

Apakah anda maksudkan bahwa Pendiri Jemaat tersebut merupakan Nabi yang terakhir?

Hazrat Mirza Tahir Ahmad
Bukan, bukan begitu masalahnya. Dalam agama Islam, istilah ‘Nabi terakhir’ bersifat teknis sekali dan hanya bisa dikenakan kepada Nabi Muhammadsaw saja. Beliau disebut ‘terakhir’ dengan pengertian bahwa Kitab atau ajaran yang dibawa beliau adalah ajaran terakhir dan beliau adalah Guru terakhir yang patut diikuti manusia. Siapa pun yang muncul sebagai murid Hazrat Rasulullah saw sama sekali tidak bisa lalu menjadi Nabi yang berbeda atau bersifat independen. Sepanjang menyangkut masalah kewenangan maka Nabi terakhir yang memilikinya hanyalah Nabi Muhammadsaw saja. Posisi dari Mirza Ghulam Ahmadas dari Qadian adalah sebagai ‘Mahdi’ (orang yang mendapat petunjuk).

Jemaat Ahmadiyah disebut demikian rupanya mengikuti nama Pendirinya. Pertanyaan yang muncul ialah jika kita beriman kepada Nabi Muhammad, pada umumnya kita tidak menyebut diri sebagai ‘Muhammadi.’ Kelihatannya seperti ada kontradiksi disini, mengapa anda mempersonifikasikan nama jemaat anda?

Hazrat Mirza Tahir Ahmad:
Salah satu masalah yang perlu dijernihkan terlebih dahulu adalah tentang definisi. Bagaimana Jemaat Ahmadiyah akan dipandang, apakah sebagai agama atau sebagai sekte (mazhab)? Dalam agama Islam, umat Muslim terbagi dalam berbagai sub-title seperti Brailwi, Wahabi, Sunni, Shiah, Maliki, Hambali, Syafei dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan, mengapa ada pemilahan seperti itu dalam Islam?
Mereka semua eksis bukan sebagai indikasi bahwa mereka agamanya berbeda, tetapi hanya sebagai gambaran dari adanya perbedaan pandangan atau pendekatan terhadap agama Islam. Sepotong kata yang menjadi nama dari kelompok-kelompok tersebut sudah akan menggambarkan pandangan atau keyakinan umum dari mereka yang tergolong dalam sekte bersangkutan.

Hal ini jadinya memudahkan identifikasi dan perkenalan ketika seseorang ditanya tentang keyakinannya. Dari pada setiap kali ditanya lalu yang bersangkutan harus menjelaskan panjang lebar keyakinan dirinya dan kepada sekte mana ia berafiliasi, satu kata saja sudah cukup menggambarkan keyakinan umum dari seseorang, seperti apakah ia dari Sunni, Wahabi atau Shiah misalnya.

Anda menyatakan bahwa harus ada suatu distinksi di antara anda sekalian dengan umat Muslim lainnya.
Mengapa harus ada pembedaan demikian?

Hazrat Mirza Tahir Ahmad:
Pendiri Jemaat Ahmadiyah sendiri sudah menjelaskan signifikasi dari sebutan Ahmadiyah ini. Beliau menyatakan dan hal ini diakui juga oleh semua Muslim, bahwa Nabi Muhammadsaw mempunyai dua nama berkaitan dengan diri beliau yaitu ‘Muhammad’ dan yang kedua ialah ‘Ahmad.’ Nama beliau sebagai ‘Muhammad’ bahkan disebut dalam Kitab Perjanjian Lama, sedangkan nama ‘Ahmad’ disebut dalam Perjanjian Baru sebagai ‘Paraklet’ (yang artinya sama dengan kata Ahmad).

Dalam penampilan pertama sebagai Nabi Muhammad, muncul manifestasi penuh dari fitrat pertama beliau sebagai ‘Muhammad.’ Pada akhir zaman adalah fitrat kedua yaitu ‘Ahmad’ yang akan mengemuka secara penuh. Namun karena akhir zaman juga diasosiasikan dengan kedatangan Al-Masih maka tepat sekali nama yang digunakan Yesusas sebagai gambaran nama beliau saat kedatangan kedua kali yaitu sebagai Al-Masih yang mewakili Islam di akhir zaman, dan nama itu adalah ‘Ahmad.’ Perbedaan di antara kedua nama ‘Muhammad’ dan ‘Ahmad’ ialah kata ‘Muhammad’ menggambarkan kekuatan dan kejayaan seperti halnya saat dimanifestasikan pada saat kemunculan Nabi Musaas. Nabi Muhammadsaw mirip dengan Nabi Musaas dalam keagungan, kekuatan dan kejayaan. Nabi Muhammadsaw berjaya dalam kemenangan semasa hidup beliau. Namun situasinya berbeda pada saat Al-Masih dimana manifestasinya berbeda sama sekali. Dalam hal ini yang menonjol bukanlah kekuatan dan kejayaan dari keagungan, tetapi keteguhan hati dalam menghadapi gelombang penganiayaan yang digabung dengan upaya damai dalam mengajak manusia lainnya secara persuasif dan dengan cinta kasih.

www.ahmadiyya.or.id

Penjelasan Rukun Islam Oleh : Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s.

Oleh : Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Penterjemah: A.Q. Khalid

Yang dikemukakan di bawah ini adalah kompilasi ekstraksi yang diambil dari Malfuzat. Malfuzat adalah judul dari sepuluh jilid buku yang berisi kumpulan diskursus, khutbah dan nasihat Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. dari Qadian, Masih Maud dan Imam Mahdi.

Ingatlah selalu bahwa bila seseorang menyatakan kalau ia beriman pada Tuhan yang Maha Esa, yang tanpa sekutu, serta beriman kepada Rasulullah Muhammad saw. serta meyakini segala hal lain berkaitan dengan agama, tetapi realitasnya pernyataan itu hanya merupakan ucapan di bibir semata dan hatinya tidak mengakuinya, maka pernyataan demikian tidak akan membawa keselamatan baginya.

Keselamatan tidak akan diperoleh sampai suatu saat hati telah mengimani dan hal demikian menjadi nyata jika perilaku dan amal perbuatan yang bersangkutan membuktikannya. Sampai keadaan demikian tercapai, tidak ada sesuatu yang telah dicapai. Sesungguhnya aku nyatakan dengan sebenarnya bahwa tujuan hakiki baru akan bisa tercapai jika seseorang yang berpaling kepada Tuhan telah meninggalkan segala yang akan menjadi gangguan, ketika agama sudah diberikan prioritas utama di atas segala aktualitas duniawi.

Ingatlah! Seseorang bisa saja menipu mahluk lainnya. Orang bisa terkecoh pandangannya melihat seseorang melakukan shalat lima kali sehari atau melakukan beberapa amal baik lainnya, namun Tuhan tidak bisa ditipu. Karena itu amal saleh harus dilakukan dengan ketulusan yang murni karena hal inilah yang menambah keindahan dari amal tersebut.

Patut selalu diingat mengenai makna dari Kalimah Shahadat yang kita ucapkan setiap hari. Dengan Kalimah itu seseorang mengikrarkan secara lisan dan bersaksi dengan hatinya bahwa baginya sang Maha Esa yang patut disembah dan dikasihi adalah Wujud Tunggal yang menjadi tujuan hakiki adalah Allah swt dan tak ada sesuatu apa pun selain Dia. Arti kata Ilaha dalam Kalimah tersebut mengandung makna ‘yang terkasih’, ‘wujud yang menjadi tujuan hakiki’ dan ‘wujud yang disembah dan dihormati.’ Pernyataan itu merupakan inti keseluruhan ajaran Al-Quran dalam bentuk paling padat yang diajarkan kepada umat Muslim. Karena tidak mudah menghafal kitab yang demikian tebal dan rinci, Kalimah ini diajarkan agar setiap orang tetap bisa memelihara esensi ajaran Islam secara konstan dalam fikirannya. Sesungguhnya sebelum semua realitas itu berakar dalam kalbu manusia, maka tidak ada keselamatan baginya. Karena itulah Hazrat Rasulullah saw. menyatakan: ‘Barangsiapa yang mengikrarkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah, ia akan masuk surga.’ Dengan kata lain, seseorang yang sepenuhnya mengimani ‘la ilaha illallah’ maka ia akan masuk ke dalam surga.

Sebenarnya manusia menipu dirinya sendiri jika mengira bahwa mengulang-ulang suatu kata seperti burung beo, akan memberi mereka kemudahan masuk surga. Jika realitas memang demikian adanya maka semua amal akan menjadi mubazir dan sia-sia dan Shariah bisa dianggap, naudzubillah, tidak relevan. Nyatanya tidak demikian adanya. Yang patut diperhatikan ialah makna yang terkandung di dalamnya haruslah meresap ke dalam hati saat pengamalannya. Jika hal ini bisa tercapai maka benar bahwa yang bersangkutan telah masuk surga, bukan setelah kematian, tetapi sekarang juga dalam kehidupan kini yang bersangkutan telah memasuki surga. (Malfuzat, vol. 9, h.102 – 104)

Setelah itu perhatikanlah bahwa yang kedua adalah Shalat, yang diwajibkan dan berulang-kali ditegaskan oleh Al-Quran. Ingatlah juga bahwa Al-Quran menegur mereka yang menegakkan Shalat tetapi tidak memahami makna daripadanya dan tetap saja bersikap kejam kepada sesama manusia. Shalat dalam realitasnya adalah permohonan kepada Allah swt agar Dia menjaga kita dari segala keburukan dan perbuatan jahat. Manusia sesungguhnya berada dalam keadaan menyedihkan dan kesepian dimana ia mendambakan kedamaian dan kepuasan kalbu yang merupakan hasil bawaan dari keselamatan. Namun keselamatan demikian tidak mungkin dicapai hanya dengan kecerdikan atau keterampilan seseorang. Sampai dengan Tuhan telah memanggil maka tidak ada yang bisa menghadap kepada-Nya, sampai dengan Dia mensucikan maka tidak ada orang yang disucikan.

Banyak yang menjadi saksi atas realita bahwa seringkali manusia menginginkan dirinya bersih dari segala dosa, namun tidak juga berhasil meski telah berulangkali berupaya melakukannya. Meski kesadaran dirinya, Nafsi Lawwama, yaitu semangat yang menegur dirinya sendiri telah mengingatkan, tetapi tetap saja ia gagal dan tergelincir kembali. Dari sini bisa disimpulkan bahwa pensucian seseorang dari segala dosa adalah kinerja Tuhan adanya. Manusia tidak mungkin mencapai hal itu hanya atas dasar upayanya sendiri. Namun memang harus diakui bahwa upaya ke arah tersebut merupakan hal yang mutlak harus dikerjakan.

Shalat adalah untuk membasuh batin yang penuh dengan dosa serta telah melenceng jauh dari Tuhan. Adalah untuk mendekatkan ruh kepada Tuhan maka ada sarana yang bernama Shalat, melalui apa kejahatan bisa dipupus dan kalbu diisi dengan perasaan dan emosi yang suci. Inilah yang mendasari pernyataan bahwa Shalat memupus segala keburukan atau mencegah seseorang melakukan suatu yang tidak pantas atau tidak berakhlak.

Lalu apa yang dimaksud dengan Shalat? Itu adalah laku doa yang penuh dengan kepedihan dan karena itu disebut Shalat. Permohonan yang diajukan kepada Tuhan dilakukan dengan memelas dan kesedihan agar Tuhan mau mengangkat segala fikiran buruk, perasaan jelek dan emosi negatif dari kalbu seseorang dan Dia mau mensucikannya dari dalam dirinya dengan cara menciptakan kasih hakiki sebagai gantinya melalui berkat dan rahmat-Nya.

Kata Shalat menunjuk kepada kenyataan bahwa doa tidak cukup hanya dengan lisan saja, karena haruslah kata-kata doa itu dilambari dengan perasaan gelisah dan khawatir. Tuhan tidak akan mendengarkan doa seseorang sampai yang bersangkutan mencapai tingkatan seperti akan mati rasanya (karena kegelisahan memohon di hadapan Tuhan). Sesungguhnya doa itu sulit dan kebanyakan orang tidak memahami hakikatnya. Banyak orang telah menyurati diriku mengatakan bahwa mereka telah berdoa untuk sesuatu tetapi doa mereka tidak membawa efek apa-apa sehingga akhirnya mereka berpandangan negatif terhadap Tuhan mereka dan mereka galau oleh perasaan putus asa. Mereka tidak memahami bahwa doa yang tidak diikuti persyaratan lainnya itu, sulit akan mendapat manfaatnya.

Salah satu persyaratan doa ialah hati itu harus demikian luluh sehingga mencair dan mengalir seperti air yang menuju ke kaki Tuhan yang Maha Agung, diikuti perasaan pedih dan gelisah. Yang bersangkutan jangan sampai tidak sabar dan mengharapkan hasil segera. Ia harus terus menerus berdoa dan kesabaran serta beristiqomah. Barulah setelah itu bisa mengharapkan doanya dikabulkan.

Shalat merupakan doa pada tingkat yang amat tinggi. Menyedihkan sekali bahwa manusia belum memahami nilainya dan mereka menganggapnya hanya sebagai gerakan-gerakan tegak, membungkuk dan sujud diikuti dengan bacaan rapalan seperti burung beo, mengerti atau tidak mengerti artinya. Yang menyedihkan juga ialah umat Muslim zaman ini tidak lagi mengenali fitrat hakiki daripada Shalat dan malah tidak melakukannya secara teratur. Bahkan ada golongan yang malah meninggalkan Shalat untuk diganti dengan beberapa rapalan atau pengulangan beberapa kata-kata. Dari antara golongan itu adalah Noshahi dan Chashti serta beberapa lainnya. Orang-orang seperti itu sebenarnya menyerang agama Islam dan ajarannya dari dalam, setelah itu karena telah menjauh dari disiplin Islam, lalu mencoba menciptakan Syariah baru.
Ingatlah selalu dengan pasti bahwa kita ini tidak memerlukan adanya inovasi baru jika kita dan semua pencari kebenaran telah diberkati dengan Shalat. Setiap kali Hazrat Rasulullah saw. dihadapkan pada kesulitan dan musibah, beliau pasti segera mendirikan Shalat. Pengalaman kita sendiri dan mereka yang mencari kebenaran menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada Shalat untuk membawa seseorang mendekat kepada Tuhan.

Ketika seseorang berdiri dalam Shalat, ia itu mengambil sikap hormat. Jika seorang sahaya berdiri di hadapan tuannya, tentulah ia berdiri dengan tangan bersidekap. Posisi membungkuk juga merupakan laku hormat yang lebih tinggi derajatnya dari berdiri tegak, sedangkan sujud menjadi bentuk penghormatan yang paling tinggi tingkatannya. Jika seseorang sedang dalam keadaan pasrah sepenuhnya, ia akan mengambil laku sujud. Celakalah orang-orang tolol dan duniawi yang ingin mempersingkat Shalat serta berkeberatan untuk membungkuk atau pun sujud. Padahal jsuteru hal-hal tersebut merupakan aspek yang terpuji. Sampai seseorang menyadari sepenuhnya akan kawasan dari mana Shalat diturunkan maka selama itu juga ia tidak akan memperoleh apa-apa. Namun bagaimana mereka yang tidak beriman kepada Allah swt akan bisa meyakini manfaat Shalat? (Malfuzat, vol. 9, h.108 – 110)

Rukun Islam ketiga adalah Puasa. Pada umumnya manusia tidak menyadari fitrat hakiki daripada laku puasa, samanya seperti orang yang belum pernah bepergian ke suatu negeri maka ia tidak akan bisa menceritakan kondisinya. Yang dimaksud dengan laku puasa bukan hanya asal lapar dan haus saja. Puasa memiliki realitas dan efek yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman. Sudah menjadi fitrat manusia bahwa tambah sedikit yang dimakannya maka tambah tinggi derajat pensucian ruhani yang bisa dicapainya serta bertambah kapasitasnya untuk mendapatkan kashaf. Apa yang dikehendaki Tuhan dalam hal ini adalah mengurangi asupan jenis makanan yang satu dan meningkatkan asupan jenis ‘makanan’ lainnya. Seseorang yang berpuasa harus selalu mencermati hal ini bahwa tujuan daripada berpuasa bukanlah semata-mata melaparkan diri tetapi perlu baginya membagi waktu untuk zikir Ilahi agar ia bisa meninggalkan kehidupan duniawi dan berpaling kepada Tuhan. Dengan demikian makna laku puasa adalah dengan mengkaliskan satu jenis makanan yang menghidupi tubuhnya ia akan memperoleh jenis ‘makanan’ lain yang menghidupi dan memuaskan ruhaninya.

Orang yang berpuasa demi Tuhan-nya dan bukan karena tradisi atau adat kebiasaan, ia sepatutnya menyibukkan diri dengan tasbih dan takbir Ilahi disamping merenungi dirinya sendiri agar jenis ‘makanan’ yang lain itu dikaruniakan pula kepadanya.

Begitu juga dengan ibadah Haji yang menjadi rukun Islam keempat. Yang dimaksud dengan ibadah Haji bukan hanya semata agar seseorang meninggalkan negerinya, berlayar melalui lautan, melantunkan beberapa rapalan dan kemudian pulang. Realitas daripada Haji sesungguhnya amat luhur dan menggambarkan titik tertinggi dalam tingkat hubungan seseorang dengan Allah swt.

Masalah ini patut dipahami bahwa ketika seseorang menjauhkan dirinya dari nafsu duniawi maka dirinya itu berharap bisa karam sepenuhnya dalam kasih Ilahi. Gairah dari kasih demikian akan berkembang sampai kepada suatu tingkatan dimana kesulitan perjalanan atau pun mara bahaya atas diri dan harta miliknya atau juga keterpisahan dari yang dikasihinya tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti baginya. Sebagaimana seseorang yang siap mengurbankan segalanya bagi sang kekasih, begitu juga halnya dengan orang yang mencintai Tuhan sama siap melakukannya. Contoh simbolis dari bentuk hubungan demikian tergambar dalam laku Haji.

Sebagaimana seseorang yang kasmaran mengitari kekasihnya, begitu juga yang dilakukan orang saat tawaf sekeliling Ka’abah pada pelaksanaan ibadah Haji. Masalah ini pelik dan halus sekali. Sebagaimana ada sebuah Baitullah (Rumah Tuhan) di bumi, begitu juga yang sama ada di atas sana. Kalau kita tidak bertawaf juga pada yang di atas itu maka tidak ada manfaatnya tawaf yang dilakukan di bumi dan karena itu tidak ada ganjarannya. Keadaan tawaf yang dilakukan pada ‘orbit’ yang lebih tinggi itu haruslah sama seperti yang terlihat di bumi dimana orang hanya menggunakan pakaian yang paling mendasar. Mereka yang bertawaf pada Baitullah yang luhur juga sama harus menanggalkan ‘pakaian’ keduniawian dan berlaku merendahkan diri dan lembut hati serta melakukan tawaf dengan hati penuh kecintaan. Tawaf merupakan simbol dari kecintaan kepada Tuhan yang sangat, dimana seseorang melakukan tawaf mengitari wujud keridhaan Ilahi, dan tidak ada tujuan lain dari laku demikian.

Begitu pula halnya dengan Zakat. Banyak orang yang membayar Zakat tetapi melakukannya tanpa memahami apa yang mereka kerjakan. Jika seekor babi atau anjing disembelih dengan cara Islam, tidak akan menjadikan dagingnya lalu menjadi halal.

Arti kata Zakat merupakan derivasi dari kata tazkia (yang artinya mensucikan). Sucikanlah harta kalian dan bayarkan Zakat dari sana. Ia yang memberikan dari harta yang disucikan sesungguhnya menegakkan kebenaran. Adapun ia yang tidak membedakan antara Halal dan Haram, sesungguhnya ia jauh dari marifat.

Setiap orang patut menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan demikian dan memahami sepenuhnya hakikat daripada rukun-rukun Islam. Barulah setelah itu rukun itu menjadi sarana keselamatan dan bukan sebaliknya, karena manusia cenderung melenceng jauh dari arah yang benar. (Malfuzat, vol. 9, h.122 – 124)

Ajaran Yahudi, Kristen dan Islam: Sebuah Kesamaan Tradisi

22 Desember 2005 – The Review of Religions, October 1992
Oleh : Arshad Khan
Penerjemah : Qurrotul Ain
Sumber : http://www.alislam.org/library/links/00000129.html
Publikasi oleh : www.ahmadiyya.or.id

Dunia Timur Dekat kuno-khususnya di wilayah – wilayah di Mesir dan tanah – tanah di timur laut Mediterania ( Asiria dan Media) awalnya didominasi dunia politeisme, yaitu pada abad ke-7 SM (Historical Atlas of the World, hal. 3). Penduduk di tanah-tanah tersebut memuja berbagai macam dewa. Beberapa dewa dihubungkan dengan kesejahteraan di kota kecil maupun besar di lokasi daerah tertentu, sepeti dewa Marduk di Babilionia atau dewa Ra Heliopolis di Mesir. Beberapa dewa lainnya juga dianggap bertanggung jawab dalam memenuhi kehidupan dan kesejahteraan manusia selama waktu perang dan keadaan tidak aman – sepeti dewa Bal untuk orang – orang kanaan dan dewa Ishtar untuk orang – orang Babilonia dan Asiria. (The Heritage of World Civilizations, hal. 54)

Diantara berbagai kelompok budaya dan keyakinan politeisme, munculah sebuah tradisi besar yang selanjutnya mempersatukan pondasi 3 agama besar di dunia: agama Yahudi, Kristen dan Islam. Tiga agama ini dapat dihubungkan dengan satu tradisi agama yang secara umum memiliki kaitan dengan masa kenabian Ibrahim. Tradisi pokok beragama ini membentuk dasar solid yang darinya tiga agama ini telah dibangun di atas rangkaian sejarah dan darinya masing- masing agama telah membangun keyakinan – keyakinan serta cita –cita berbeda dan membuat mereka terlepas satu sama lain.

Perbedaaan fundamental yang memisahkan tradisi beragama 3 agama dapat dipersatukan dengan konsep monotheisme:

keimanan kepada sesuatu yang tunggal, Tuhan Yang Maha Perkasa satu-satunya Sang Pencipta), Maha Pemberi dan Maha Menguasai alam semesta. (Ibid hal . 56)

Hal itu benar – benar belum jelas terbukti, kapan doktrin pertama muncul dalam kehidupan. Para ahli sejarah pada umumnya setuju bahwa konsep awal monotheisme telah menunjukkan suatu penampakan yang jelas di antara sebuah suku nomadik (pengembara) yang disebut kaum Hebrew. (Ibid hal 56) pada dasarnya, kesamaaan tradisi beragama yang dimiliki agama Islam, Kristen dan Yahudi dapat dihubungkan dengan kaum ini. Pemahaman lebik baik tentang sejarah suku ini bisa bermanfaat di dalam memahami secara umum asal mula agama – agama monotheisme saat sekarang.

Tidak ada catatan berharga tentang kehidupan orang – orang Hebrew. Meskipun demikian, para cendekiawan setuju dengan catatan-catatan yang berhubungan dengan kitab injil yaitu migrasi kaum Hebrew ke wilayah Timur Dekat Mesopotamia adalah masuk akal dan sesuai pula dengan yang diketahui secara umum jika telah ada perjalanan migrasi yang dilakukan oleh suku – suku semi – nomadic. ( Ibid, hal 57) Tradisi – tradisi bersejarah dan bernilai agama menyebutkan bahwa Bapak Ibrahim berasal dari Mesopotamia dan telah bermigrasi ke timur bersama pengikutnya, kaum Hebrew, mereka menempati daerah sepanjang pantai timur laut Meditarania, di area yang sekarang dikenal sebagai Palestina. (Ibid, p. 56)

Ibrahim telah membawa ide – ide keyakinan monotheisme, ide yang kemudian akan terbukti terus bertahan dalam kurun waktu yang panjang di area ini. Keyakinan monotheisme menekankan pada tuntutan-tuntutan moral dan tanggung jawab - tanggung jawab individu dan masyarakat terhadap penyembahan Kepada Tuhan, Sang Maha Penguasa segala sesuatu. Terlebih lagi, keyakinan pada Tuhan Yang Satu menekankan pada ide bahwa Tuhan telah membuat rencana rohani untuk sejarah manusia, dan tindakan – tindakan dan cita – cita orang – orang pilihan-Nya adalah ikatan yang tak bisa lepas dari rencana rohani ini. (Ibid, hal C-1) Pada puncaknya tradisi ini menempatkan Ibrahim diakui sebagai pendiri kepercayaan monotheisme oleh pengikut tiga agama tersebut: Islam, Yahudi dan Kristen. Para pengikut Ibrahim mewariskan tradisi ini dari generasi ke generasi, memperkuat dan menyatukan semua orang di tanah Palestina dengan kepercayaan kepada Tuhan dan dengan perjanjian yang telah dibuat oleh orang – orang pilihan-Nya. Pada abad ke – 13 SM peranan Musa telah terbukti menjadi sebuah kekuatan persatuan besar yang sungguh benar – benar menempa bangsa Israel. Selama kurun waktu Musa, konsep perjanjian ini diulang-ulang dan ditempatkan kembali diantara keturunan Ibrahim.

Pentingnya Perjanjian ini dapat dikenal secara dekat dengan analisa scriptural (dari kitab-kitab suci) tiga agama tersebut. Tiga cabang keyakinan monoteisme yang pada awalnya dikenalkan oleh Ibrahim di daerah Palestina tersebut, mengakui dan mencatat peristiwa – peristiwa tersebut di dalam tulisan – tulisan agama mereka:

“Dan Musa menuliskan semua firman – firman Tuhan, dan bangun pada pagi awal dan membangun sebuah altar di bawah bukit, dan dua belas pillar (tiang) sesuai dengan jumlah 12 suku Bani Israil …dan Musa mengambil sebagian darah seekor lembu jantan , menempatkan di dalam sebuah wadah lalu memercikan sebagian lain darah tersebut di atas altar. Dan dia mengambil kitab perjanjian dan membacakannya di depan orang – orang yan hadir: lalu mereka mengatakan, semua yang difirmankan atas nama Tuhan akan kami laksanakan dan mereka taat.” (Keluaran: 24: 4, 6, 7)

Hal yang sama juga dikenal di dalam agama Islam yaitu perjanjian kaum Hebrew dengan Tuhan. Disebutkan di dalam Quran Suci, kitab suci kaum Muslim; bahwa mereka harus mengingat ketika sebuah perjanjian dengan Tuhan telah diambil oleh sekelompok manusia:

Hai Bani Israil , ingatlah akan ni’mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku , niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut. ( Alquran: 2: 41)

Hai Bani Israil, ingatlah akan ni’mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat. (Alquran: 2:48).

Dan, ketika Kami berikan kepada Musa Al Kitab dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk. (Alquran: 2:54)

Dan, ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung di atasmu : “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa. (Alquran: 2:64)

Kebutuhan mengutip catatan – catatan dari bagian kitab-kitab ini selanjutnya terlihat ketika seseorang berusaha menghubungkan dan membandingkan keyakinan – keyakinan pokok lainnya di dalam 3 agama ini. Salah satunya adalah ketika tradisi yang dibawa Ibrahim lalu diperkuat dan ditempatkan kembali oleh Musa muncul dan dikenal oleh 3 agama ini. Ini adalah point lazim yang ada di dalam keyakinan tiga agama tersebut: Penegasan dan pengakuan tentang perjanjian yang telah dibuat oleh kaum Hebrew di Palestina dengan Tuhan. Hal yang membentuk pondasi dasar untuk agama – agama monotheisme.

Ada kesamaan lain lagi yang ada diantara 3 agama ini yaitu kedekatan kekerabatan secara geografi. Hal itu bukan suatu kebetulan. 3 agama terbesar di dunia ini memiliki asal muasal keturunan yang sama. Adalah kenyataan jika Ibrahim adalah bapak agama bagi 3 agama besar ini juga ditandai dengan tempat dimana beliau hidup dan beliau mengarahkan kaumnya akan sebuah tempat dimana 3 agama ini akan menuju. Daerah Timur Dekat , terdiri dari daerah Palestina, Semenanjung Sinai, Semenanjung Arabia (khususnya sebagian wilayah bagian utara), dan daerah – daerah lainnya yang pada saat ini dikenal dengan nama Turki dan Yunani- pada dasarnya mewakili tempat lahirnya 3 kepercayaan besar ini.

Masih ada kesamaan lain diantara 3 agama ini yaitu keyakinan dan cita – cita yang dicapai melalui doa dan permohonan, serta penegakkan hubungan dengan Tuhan yang dapat menentukan kebaikan di dalam kehidupan dan menciptakan rasa damai terus menerus serta rasa ketenangan diri sendiri. Ini adalah akar pokok semua ibadah agama monoteisme. Sang Maha Pencipta dipandang sebagai wujud yang nyata secara aktif mengawasi tindakan – tindakan dan perbuatan- perbuatan mahluk-mahluk ciptaan-Nya: demikian pula keyakinan tentang akan kembalinya semua ciptaan kepada-Nya dan pada akhirnya berkumpulnya manusia kepada Sang Pemurah dan Sang Penyayang. Pada dasarnya tujuan Tuhan menciptakan umat manusia adalah karena suatu alasan baik:

Mereka diperintahkan untuk bersikap adil dan baik seperti halnya Sang Pencipta, karena mereka dilibatkan untuk memenuhi tujuan penciptaan oleh-Nya. (Craig, Albert, [The Heritage of World Civilizations, hal. 60])
Konsep ini diilustrasikan dalam firman Tuhan kepada orang – orang Israel di dalam injil.
“Aku akan meletakkan hukumku dengan mereka, dan Aku akan menuliskannya di dalam hati mereka: Aku akan menjadi Tuhan mereka dan mereka akan menjadi pengikut-Ku.” (Yeremiah:31:33)

Tujuan Tuhan menciptakan manusia menurut keyakinan-keyakinan monoteisme, adalah mengangkat dan meninggikan derajat manusia yang melakukan perbuatan mulia dan berahklak unggul. Hal ini bisa dicapai seseorang atau sekelompok orang dengan pemahaman jika mereka tercipta untuk suatu tujuan kerohanian dan hal itu merupakan takdir penciptaannya. Orang orang yang beriman diharapkan mengikuti ajaran – ajaran yang diberikan kepada mereka melalui kitab – kitab suci mulia mereka dan mengimani tokoh – tokoh seperti Ibrahim, Musa dan nabi- nabi lainnya yang telah diberi wahyu dan diberi petunjuk oleh Tuhan serta mendapatkan tugas membimbing dan memperbaiki manusia. (Craig, Albert,[The Heritage of World Civilizations, hal. 59])

Kepercayaan – kepercayaan yang telah disebutkan terdapat di dalam keyakinan tiga agama tersebut. Mereka sama – sama memiliki keyakinan tentang kehidupan, rasa kebersukuran bahkan meyakini keberadaan Tuhan sebagai pembentuk serta pengatur kehidupan dan tindakan tiap – tiap individu. Keyakinan – keyakinan ini telah mempererat pondasi yang pada dasarnya sama pada semua kepercayaan monoteisme yang juga bermula dari Ibrahim. Point kesamaan ini juga dijalankan sebagai kekuatan pemersatu yang menyatukan semua bangsa Israel di bawah satu keyakinan dan satu Tuhan.

Agama Islam dan Kristen juga memiliki kepercayaan – kepercayaan ini. Mengakui Semenanjung Arabia dan daerah Palestina sebagai tempat yang dihormati, kedua agama ini mempercayai wujud Isa sebagai penyambung tradisi. Lain halnya dengan agama Islam dan Kristen yang mempercayai Isa sebagai Nabi dan sang Reformer, orang – orang Yahudi tidak mengakuinya.

Disinilah kesepahaman dan kesamaan diantara 3 agama ini berakhir. Islam dan Kristen kesamaannya dengan Yahudi terputus ketika keduanya menghormati kesucian dan kebenaran Isa. Ketiga agama ini sama – sama mempercayai Musa, namun hanya dua agama yang mengakui kebenaran Isa. Kesamaan antara Kristen dan Islam berakhir keterkaitannya ketika Islam mengakui Nabi Suci Islam sebagai nabi yang benar yang Tuhan telah datangkan setelah Agama Yahudi dan Agama Kristen yang kepadanya pula Tuhan telah memberikan hukum terakhir-Nya yan akan memberi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Sedangkan, Yahudi dan Kristen menolak pernyataan ini. Oleh karena itulah agama – agama ini terpisahkan, dan kesamaan mereka berakhir ketika mereka berbeda pendapat tentang Isa as. dan Muhammad pbuh. Hanya Islam yang mengakui orang – orang pilihan Tuhan dan semua nabi dari penokohan 3 agama-agama ini, namun sebaliknya dengan dua agama lainnya.

Tiga agama tidak lagi memiliki kesamaan keyakinan setelah kepercayaan kepada Musa. Islam mengakui ketiganya, Kristen mengakui dua, sedangkan yahudi hanya 1 nabi yang diakui.
Namun, semua memiliki akar yang dalam di dalam stuktur monotoisme. Tradisi ini diakui sebagai tulang punggung masing – masing agama ini. Perjanjian yan diambil oleh Ibrahim lalu diperkuat oleh Musa dianggap sebagai garis persamaan antara tiga agama terbesar dunia. Kesamaan geografi dan sejarah asal muasalnya membawa tiga agama ini kepada kebersamaan dan kesatuan perspektif. Keistimewaan inilah yang membuat agama—agama ini sungguh sama.

Tradisi agung yang telah membangun tiga agama ini menghubungkan asal muasal dan kelahirannya ke kelompok kecil orang – orang Hebrew, yang bergaya hidup dan memiliki habit sederhana. Mereka bukan produk suatu kekuatan kekaisaran ataupun kebesaran kekaisaran (Ibid, hal. 56). Tradisi ini telah melahirkan banyak hasil setelah jangka waktu panjang. Tradisi ini berkembang secara bertahap dan melalui proses yang lambat- bukan periode singkat melalui pergolakan dan kekacauan berbau agama. Waktu berselang antara kedatangan Musa dan Muhamad pbuh yaitu 19 abad (1300 SM – 600 M). Suatu rangkaian waktu yang monumental untuk proses perubahan dan perkembangan di dalam dunia agama.

Dengan demikian, pemahaman yang tepat tentang asal muasal keyakinan monoteisme ini, memungkinkan seseorang mengerti dengan jelas tentang keluasan ajaran Yahudi, Kristen dan Islam yang juga bisa dipertimbangkan sebagai bagian kesamaan beragama dan bertradisi kerohanian: yaitu suatu tradisi yang dikaitkan dengan waktu jaman Ibrahim, seorang pengembara sahaja yang memimpin para pengikutnya menuju sebuah hunian yang lebik baik.
* * *


Tujuan dari Adanya Perbedaan Agama

 Oleh : Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Penterjemah : A.Q. Khalid

Berikut ini adalah dua percakapan dari Hazrat Masih Maud.a.s. dengan beberapa orang non-Muslim. Teks Urdu dari percakapan ini terdapat dalam Malfuzat, volume 5, halaman 151-154 dan 141-146.

Pada tanggal 1 Maret 1903 datang seorang pria dari Lahore bernama Kashi Ram Ved untuk kunjungan kehormatan kepada Hazrat Masih Maud.a.s. Hadir pula beberapa orang lain ketika setelah shalat Zuhur, dalam percakapan itu beliau mengemukakan kepada Kashi Ram Ved bahwa : 

Perbedaan agama merupakan suatu hal yang baik. Tuhan sejalan dengan Kebijaksanaan-Nya memang meniatkan hal itu ada. Adanya perbedaan itu akan mempertajam kemampuan intelektual manusia. Di dunia dimana misalnya pun ada kesepakatan mengenai suatu hal, tetap saja dalam detilnya ada perbedaan yang mungkin akan menjadi masalah nantinya. Memberikan pidato dalam suatu kumpulan besar dalam rangka pertukaran fikiran juga merupakan suatu hal yang baik, tetapi nyatanya di negeri kita ini sampai dengan sekarang, sedikit sekali orang yang cukup beradab yang mau tenang mendengarkan ulasan pandangan dan pendapat dari lawan mereka. Aku sendiri menginginkan dan memang menjadi niatku untuk menyediakan satu tempat di Qadian ini dimana orang-orang dari berbagai agama yang berbeda bisa berkumpul dan menyatakan kebenaran serta faktor keunggulan agama mereka masing-masing secara terbuka. Jika ada debat atau diskusi terbuka dalam mengemukakan kebenaran, hal itu sebenarnya merupakan suatu yang baik, namun pengalaman menunjukkan bahwa hal itu juga mengandung unsur kejahilan dan kekacauan dan karena itulah tidak digalakkan. Bisa jadi ada saja segelintir orang-orang yang mau mendengarkan pandangan lawan bicaranya dengan sabar dan lembut hati, tetapi mayoritas lainnya terdiri dari orang-orang yang tidak mampu mendengarkan bahkan sepatah kata pun yang dirasanya tidak sejalan dengan agama yang dianutnya, tidak peduli betapa lembutnya pun hal itu disampaikan. Bila ada seseorang beragama lain yang berbicara, kemungkinan besar apa yang dikemukakannya itu tidak sejalan dengan pandangannya sendiri dan hal itu langsung merangsang emosinya. Dalam pertemuan seperti yang dimaksud, bisa terdapat kedamaian jika si pembicara dan si pendengar bisa duduk bersama, seperti halnya seorang ayah yang menemukan sesuatu yang buruk pada anaknya dan ia menasihati si anak yang mendengarkan dengan sabar dan lembut hati. Hubungan kasih demikian jelas besar manfaatnya. Mengharapkan ada sesuatu yang baik yang bisa dihasilkan dari amarah dan kekerasan adalah samanya bermimpi. 

Yang menjadi masalah di masa kini bukan saja tentang perbedaan agama tetapi juga yang menjadi tambah sulitnya masalah kenyataan bahwa manusia tidak lagi memfokus pada dasar atau basis kebenaran, dimana rasa permusuhan dan prasangka buruk satu terhadap yang lainnya sudah demikian rupa sehingga jika ada yang mengemukakan sesuatu yang baik tentang agama orang lain maka hal itu langsung dianggap sebagai suatu dosa. Aku melihat bahwa manusia sekarang ini umumnya berbicara tanpa adab sopan santun dan malah kasar. Di masa lalu, hubungan di antara bangsa Hindu dengan umat Muslim adalah sedemikian baiknya sehingga mereka merasa sebagai satu komunitas. Sekarang ini terdapat perpecahan sehingga perasaan positif yang ada di masa lalu kini sudah tiada. Perasaan demikian telah digantikan oleh rasa permusuhan dan prasangka buruk. Karena itu jika tidak ada lagi unsur ketertarikan satu sama lain, sedangkan semua pihak hanya memikirkan menang atau kalah saja dalam suatu perdebatan, bagaimana mungkin muncul ekspresi kebenaran dari sana? Untuk bisa mengemukakan kebenaran, syaratnya adalah seseorang tidak memiliki prasangka, rasa permusuhan atau pun dendam.

Aku juga meyakini bahwa manusia sekarang ini berada dalam suatu kekeliruan. Sebelum menyerang agama lain, mereka tidak mempertimbangkan apakah materi yang mereka gunakan sebagai sarana menyerang itu memang ada dalam kitab suci atau tidak. Mereka mengesampingkan kitab itu dan mengemukakan opini pribadinya dan menganggapnya sebagai sifat dari agama bersangkutan. Memang ada beberapa hal yang menurut hemat kami tidak benar dari agama bangsa Arya, namun aku tidak ada menganggap aspek-aspek itu sebagai bagian dari kitab Veda. Aku tidak mengetahui apa yang ada di dalamnya dan kami menganggapnya sebagai pandangan dari Pandit Dayanand dimana yang bersangkutan memang mengakuinya. Kami sendiri memang bicara menentang kepercayaan seperti itu serta mempublikasikannya dengan mengemukakan bahwa inilah kepercayaan dari kelompok Arya Samaj. Begitu pula mestinya jika bangsa Arya mempunyai keberatan, mereka seharusnya mengungkapkannya dibanding Al-Quran atau pun keyakinan yang telah aku kemukakan dan publikasikan sebagai keyakinan diriku. Jelas tidak patut mengemukakan tentang sesuatu yang tidak kita yakini sebagai keyakinan kita. 

Karena sekarang ini terdapat begitu banyak sekte dari berbagai agama, mestinya jika ada keberatan terhadap suatu keyakinan seharusnya diarahkan hanya kepada sekte yang menganut keyakinan dimaksud. Dengan demikian, pada saat diskusi agar diajukan kitab-kitab yang relevan dengan hal itu. Dari banyaknya versi dan penafsiran yang ada, terlihat betapa banyaknya perbedaan yang ada. Kalau saja prinsip ini dipatuhi maka yang hadir akan memperoleh manfaat. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah membaca atau memahami suatu buku lalu merasa punya hak untuk mengemukakan keberatan terhadapnya? Menyangkut masalah agama, perlu kiranya bahwa perdebatan difokuskan pada prinsip-prinsip dasar yang umum diakui meski ia untuk itu tidak harus sudah pernah membacanya karena proses membaca semua kitab demikian akan menghabiskan usia hidupnya.

Suatu perdebatan mestinya dilakukan mengikuti prinsip-prinsip perdebatan. Para ahli telah mengemukakan bahwa ketentuan seni berdebat telah menggariskan agar jangan tenggelam dalam permasalahan sampingan yang tidak berarti, sama seperti suatu lasykar yang dituntun oleh suatu prinsip yang sama dengan para perwiranya. Jika sudah ada keputusan yang desisif diantara para perwira, hal yang sama juga berlaku pada para prajuritnya. Contohnya, jika perwira komandan itu tewas maka para prajuritnya akan juga menyerah.  

Aku sendiri tidak akan mengucapkan sesuatu kecuali Allah swt mengizinkan. Jika memang aku akan mengadakan perdebatan verbal maka aku tidak akan menulis buku ini, Nasimi Dawat. Biasanya dalam suatu pertemuan (yang membahas masalah keagamaan), kebenaran selalu tersembunyi dan orang-orang berperilaku dengan prasangka buruk dan kedegilan hati. Karena itu aku telah membuat janji dengan Allah swt bahwa aku akan meninggalkan kebiasaan tersebut. 

Aku telah mengarang buku Nasimi Dawat ini sejalan dengan ketentuan mengenai perdebatan dan dalam buku itu aku telah mengemukakan argumentasiku sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah aku kemukakan. Aku tidak akan menanggapi mereka yang melontarkan cercaan terhadap diriku karena Allah swt sudah mencabut kemampuan diriku membalas dengan cercaan pula. Lagi pula siapa yang akan ditanggapi karena begitu banyak orangnya.

Ketika para tamu bangsa Arya itu meninggalkan tempat, datang beberapa orang lainnya dan dalam memberikan jawaban, Hazrat Masih Maud.a.s. mengemukakan secara singkat bahwa:  

Dalam buku Nasimi Dawat kalian akan melihat bahwa aku berpegang pada kebenaran meski terdapat perbedaan pandangan. Allah swt mencabut dari diriku kemampuan untuk mencerca, tidak juga aku bisa menjawab masing-masing (mereka yang mencerca). Berjuta-juta orang yang mencerca, yang mana yang harus aku layani? Aku kemukakan masalah ini langsung kepada kelompok Arya Samaj dan bukan dengan kitab Veda karena aku tidak menguasai Veda.

Pada sore hari tanggal 28 Pebruari 1903, beberapa orang Arya datang dalam kunjungan kehormatan kepada Hazrat Masih Maud.a.s. yang menanyakan kepada mereka apakah mereka datang untuk menghadiri pertemuan. Mereka menjawab bahwa mereka datang hanya karena mereka mendengar kalau Hazrat Masih Maud.a.s. akan berbicara dalam pertemuan itu. Jika tidak demikian maka mereka tidak berkeinginan datang kesini. Hazrat Masih Maud.a.s. kemudian menjawab:  

Kami menyadari bahwa dalam realitas selalu ada orang-orang yang sopan dalam setiap bangsa, orang-orang yang tidak melakukan pencercaan semena-mena atas orang lain atau berprasangka buruk atau juga berkata buruk tentang para pemimpin yang dihormati orang lain. Namun apa pun yang aku lakukan, semuanya itu berdasarkan perkenan dan perintah dari Allah swt. Dia tidak menginginkan aku terjerumus dalam bentuk perdebatan verbal yang bersifat abusif demikian. Karena itu beberapa tahun yang lalu aku telah menerbitkan buku Anjami Atham dan aku telah berikrar kepada Tuhan bahwa aku tidak akan ikut dalam pertemuan untuk perdebatan verbal seperti itu. Kalian tentunya menyadari bahwa dalam pertemuan seperti itu terdapat beragam manusia yang menghadirinya. Ada yang sama sekali tidak tahu permasalahan dan ikut hanya karena ingin bergabung dengan kelompoknya. Yang lainnya ada yang datang hanya untuk melontarkan cercaan atas diri orang-orang yang dihormati oleh kelompok lawannya dimana mereka memperoleh kenikmatan dalam lakunya itu. Ada pula orang yang fitratnya memang sangat kasar. Pergi menghadiri pertemuan yang terdiri dari orang-orang seperti itu untuk berdebat soal agama, jadinya merupakan suatu hal yang muskil sekali. Kalian tentunya menyadari bahwa jika ada dua umat yang berhadapan dengan tujuan utama untuk membuktikan bahwa agama lawannya itu palsu adanya serta tidak memiliki kebenaran ruhaniah sama sekali dan karena itu sama saja dengan mati karena tidak mempunyai hubungan dengan Tuhan, maka sampai mereka berhasil membuktikannya (dan diterima oleh lawannya), sulit baginya untuk mengemukakan keindahan dari agamanya sendiri. Mereka harus mengemukakan kesalahan-kesalahan agama lawannya, karena jika tidak maka tidak akan ada ekspresi kebenaran. Hanya saja beberapa orang lalu lalu menjadi terlalu terangsang dan mereka tidak bisa mendengarkan lagi, dimana emosi mereka lalu meletup-letup dan mereka jadinya siap berkelahi.

Dengan demikian maka pergi ke pertemuan seperti itu akan menjadi bertentangan dengan akal sehat karena untuk suatu analisis agama yang tepat perlu kiranya para partisipan berhati dingin dengan perbawaan sifat adil dan tidak memihak. Sewajarnya mereka tidak cenderung kepada pertengkaran atau kekerasan. Hanya dalam suasana demikian saja maka seseorang akan bisa menguraikan keunggulan agamanya dan berbicara sebanyak maunya, untuk kemudian lawan bicaranya yang sama sopannya menimpali tentang agamanya sendiri. Hanya saja sayangnya di negeri kita ini telaah analisis agama yang dilakukan dengan sabar dan lemah lembut demikian nyatanya tidak ada. Saat yang didambakan seperti itu belum lagi mewujud. Namun kami berharap bahwa Tuhan akan mewujudkannya juga suatu waktu. Aku bahkan berniat menyiapkan sebuah bangunan di sini dimana orang-orang dari berbagai agama bisa berbicara bebas tentang agamanya masing-masing.

Sesungguhnya suatu permasalahan yang tidak didengarkan dengan hati yang dingin dan fikiran yang tidak memihak serta dilambari dengan toleransi, maka akan sulit sekali mendalami inti kebenarannya. Ambil saja contoh kejadian dalam sebuah pengadilan dimana sang hakim bisa mendengarkan dengan kepala dingin segala bukti-bukti dan alasan dari kedua pihak yang bertikai, ia akan mampu berfikir dan menganalisis secara tenang untuk kemudian memberikan keputusannya. Terkadang proses seperti itu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Jika dengan peradilan duniawi sudah demikian keadaannya, bagaimana mungkin permasalahan agama bisa mencapai kata kesepakatan dalam lima atau sepuluh menit. Memang mudah bagi si penanya untuk mengemukakan pertanyaannya, tetapi kesulitan yang dihadapi oleh yang ditanya bukanlah suatu hal yang gampang. Bila ada seseorang yang mengajukan pertanyaan minta dijelaskan tentang sistem matahari, bumi dan bintang-bintang, lalu meminta jawaban secepat ia mengajukan pertanyaan atau kalau tidak akan menganggap lawannya sebagai pendusta, apa yang bisa dilakukan oleh lawan bicaranya itu? Jelas bahwa ia harus mempersiapkan jawaban yang mungkin harus berupa satu buku lengkap dengan berbagai bab, karena kalau tidak maka jawabannya tidak akan lengkap. Singkat kata, demikian itulah kesulitan yang aku hadapi. Hal itu juga yang menjadi alasan yang menahan diriku untuk menghadiri pertemuan-pertemuan seperti itu.

Kalau saja si penanya bersikap akan sabar sampai selesai mendengarkan dengan tenang jawabannya maka orang yang menjawab akan senang memberikan jawabannya. Sesungguhnya sesuatu yang dikemukakan atas nama Tuhan dan yang bersangkutan melakukannya dalam mencari keridhaan Ilahi dan karena itu dipenuhi dengan jiwa ketakwaan, maka seperti itu tidak akan melakukan perbuatan nista seperti menggunakan kata-kata yang kotor. Namun sekarang ini lidah orang tajam laiknya pisau dan keberatan demi keberatan diajukan tanpa ada alasan yang mendasari.

Jika suatu pertanyaan diajukan hanya demi Ilahi dengan gaya yang menyejukkan hati dan bahasa yang baik, maka sesuatu yang berasal dari hati akan sampai ke hati juga! Aku sendiri bisa mengindera suatu pertanyaan yang datang dari hati tulus seseorang yang mencari kebenaran. Bahkan nada keras yang datang dari seseorang yang mencari kebenaran, tetap saja mengandung unsur yang menyenangkan. Adalah haknya jika ia bersikeras sampai ia mendapatkan kepuasan dalam jawaban yang dicarinya dan sampai bukti-bukti bisa meyakinkan dirinya. Aku tidak berkeberatan dengan hal seperti itu. Sebaliknya, justeru orang seperti itu patut dihargai. Kata-kata yang diutarakan demi Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan ucapan palsu dari orang yang rendah akhlaknya.

Aku telah menekankan berulangkali kepada Jemaatku bahwa mereka tidak boleh gegabah menilai buruk orang lain. Semua agama terdahulu pada dasarnya datang dari Tuhan, hanya saja karena perjalanan waktu lalu mengalami penyimpangan. Hal seperti itu harus dihilangkan secara halus dan lembut. Jangan pernah mengemukakan keberatan kepada orang lain seperti lemparan batu. Kita sendiri bisa melihat kain yang kita beli hari ini dan kemudian dibuat pakaian, setelah jangka waktu yang singkat akan menjadi tua dan mengalami perubahan yang menjadikan bentuknya terkadang berbeda sama sekali dari asalnya dahulu. Begitu juga dengan semua agama terdahulu, pasti ada akar kebenaran di dalamnya. Tuhan beserta yang benar dan agama hakiki berisi hal itu di dalamnya sebagai tanda-tanda kehidupan. Sebuah pohon dikenali dari buah yang dihasilkannya. Bahkan dalam suatu pemerintahan pun, yang menjadi bayangan dari Wujud yang Maha Tersembunyi itu, kita bisa melihat bagaimana orang-orang yang jujur dihormati dan disayang oleh mereka. Para pejabat dan pekerja yang ditunjuk pemerintah, misalnya sebagai gubernur di suatu daerah, mereka akan bekerja dengan berani dan ingin juga dikenal. Tetapi seorang pejabat deputi-komisioner atau inspektur polisi yang culas yang menipu rakyatnya, beranikah mereka menghadap secara terbuka kepada pemerintahnya? Jika pemerintah kemudian menemukan keculasan mereka, tentulah mereka akan dipermalukan dan dijebloskan ke penjara dengan tangan terbelenggu. Hal yang sama juga berlaku tentang kebenaran suatu agama.

Barangsiapa yang benar di hadapan Allah swt maka ia akan memiliki tanda dari Ilahi serta citra keberanian dan kebenaran.

Dalam realitas, seseorang yang takut kepada Tuhan biasa menghadapi berbagai kesulitan besar. Seseorang baru akan menjadi suci jika ia mampu menanggalkan semua nafsu dan keinginannya, lalu sepenuhnya tenggelam dalam upayanya mencari keridhaan Ilahi. Sifat mementingkan diri sendiri, ketakaburan dan keangkuhan telah dicerabutnya sama sekali dari dalam batinnya. Matanya hanya memandang ke arah yang diperintahkan Tuhan. Telinganya hanya mendengar apa yang difirmankan Tuhan. Bibirnya hanya terbuka untuk menyampaikan kebenaran dan kebijakan, kalau tidak akan menutup terus sampai diperintahkan Tuhan. Cara yang bersangkutan makan, berpakaian, tidur, minum, bergaul dengan isterinya, semuanya dilakukan sejalan dengan perintah Tuhan. Ia tidak sepatutnya makan karena merasa lapar tetapi karena Tuhan menyuruhnya demikian. Dengan kata lain, jika ia belum mengalami ‘kematian’ sebelum maut yang sesungguhnya maka ia belum akan mencapai derajat ketakwaan. Tetapi jika ia ‘mematikan’ dirinya maka Tuhan tidak akan membiarkannya mengalami kematian yang kedua.

Di masa sekarang ini kita melihat ketika bibir orang terbuka, yang keluar hanya kata-kata yang memperolok, menertawakan orang dan mengatakan hal-hal yang menyakitkan tentang orang lain. Apa yang terkandung dalam suatu bejana, itu juga yang akan keluar daripadanya. Bicara mereka mencerminkan apa yang ada dalam batin mereka. Aku bisa mengenali seorang yang baik hati dari kejauhan. Seseorang yang datang dengan sifat dan hati yang baik adalah jenis orang yang selalu ingin aku temui. Bahkan cercaan dari orang-orang seperti itu tidak akan mengganggu. Hanya saja sayangnya orang-orang dengan hati yang suci demikian adalah amat langka. 

(Saat itu seorang Arya mengatakan bahwa hanya ada dua bangsa saja yang tolol. Jika anda tidak keberatan, yang satu adalah bangsa Sikh dan yang lainnya adalah saudara-saudara umat Muslim ini.)

Hazrat Masih Maud.a.s. menjawab :
Bagi seseorang yang mengerti, tidak ada hinaan yang lebih besar daripada dikatakan ‘tolol.’ Menyebut seseorang secara langsung kepadanya sebagai ‘tolol’ adalah suatu hinaan yang amat kasar. Namun anda bisa melihat bahwa dari semua orang-orang kami yang ada di sini tidak ada seorang pun yang menanggapi hinaan anda. Apakah anda masih juga meragukan kelembutan dan laku adab umat kami? Banyak sekali orang yang datang hanya untuk mencaci diriku tetapi tidak ada dari umatku yang berani menanggapinya (dengan marah). Siang malam aku mengajarkan kesabaran kepada mereka. Aku mengajarkan agar mereka berlaku lemah lembut dan sabar. Ini bukanlah bangsa yang sejalan dengan prinsip ketololan menurut pandangan anda. Namun kami tidak bertanggungjawab atas umat lainnya (yang tidak berada di bawah pengaruh kami). Kami akan percaya kepada anda jika dalam suatu pertemuan bangsa Arya lalu ada seseorang yang mengatakan kalian bangsa yang tolol, lalu mereka bersabar hati dan bukannya lalu membalas seribu kali lipat.


Anda belum mengenal umat Muslim dan juga belum melihat karakter mereka. Jika diadakan perbandingan di antara mereka dengan bangsa Arya, samanya dengan membandingkan serigala dengan domba. Aku tidak bertanggungjawab atas mereka yang tidak berada di bawah pengaruhku, namun mampu sabar mendengarkan hinaan dan kata-kata yang membakar adalah ciri dari laki-laki sejati. Bisakah orang lain menirunya? Kelemah-lembutan sulit sekali bisa dicapai dan dipraktekkan tetapi semua orang bisa bersikap kasar!